Tugas Sejarah Indonesia
Makalah Tentang Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal
Makalah Tentang Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal
Disusun
Oleh :
1. Abrianto
2. Adji Prakoso
3. Avita Luciana
4. Margi Rahayu
5. Utari May Ranti
2. Adji Prakoso
3. Avita Luciana
4. Margi Rahayu
5. Utari May Ranti
SMK
NEGERI 7 BANDAR LAMPUNG
2016 - 2017
2016 - 2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Indonesia tentang
“Perkembangan Politik
Masa Demokrasi Liberal”
Dalam
menyusun makalah ini tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan oleh karena
itu saya mohon kerendahan hati untuk memakluminya. Mudah – mudahan makalah ini
dapat membawa manfaat bagi kita semu.
Bandar Lampung, Agustus 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI :
KATA
PENGANTARi
DAFTAR ISIii
DAFTAR ISIii
BAB I PENDAHULUAN1
Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa
Demokrasi Parlementer (1950-1959) 1
Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa
Demokrasi Parlementer (1950-1959) 1
BAB II PEMBAHASAN2
A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal2
1. Sistem Pemerintahan2
2. Sistem Kepartaian11
3. Pemilihan Umum 195512
A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal2
1. Sistem Pemerintahan2
2. Sistem Kepartaian11
3. Pemilihan Umum 195512
BAB III PENUTUP16
A. KESIMPULAN16
B. DAFTAR PUSTAKA16
A. KESIMPULAN16
B. DAFTAR PUSTAKA16
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi
Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat
dibubarkan pada Agustus 1950, RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Perubahan bentuk pemerintahan diikuti pula perubahan undang-undang
dasarnya dari Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD sementara
ini membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal. Masa Demokrasi Liberal
di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut
pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak
terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan.
Perlu kalian ketahui bahwa sistem multi partai di
Indonesia diawali dengan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, setelah
mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja. Pemerintah pada awal pendirian
partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai-partai politik dan
organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi, hal ini seperti
yang disebutkan dalam maklumat pemerintah yang garis besarnya dinyatakan
bahwa:
1.
Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya
satu
partai.
2.
Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk mudah dapat
mengukur
kekuatan perjuangan kita.
3. Dengan adanya
partai politik dan organisasi politik, bagi pemerintah
mudah untuk
minta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan
perjuangan.
(Wilopo, 1978).
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal
1. Sistem Pemerintahan
Bangsa kita sebenarnya adalah
bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah menjalankan dua
sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem
parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan
presidensial digantikan dengan system pemerintahan parlementer. Hal ini
ditandai dengan pembentukan cabinet parlementer pertama pada November 1945
dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet
pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini
tidak diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat
pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS.
Begitu juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer
dilandasi oleh UUD Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai
landasan hukum Republik Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang
ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara
1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah system
parlementer. Artinya Kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian
dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam
parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan
pula Demokrasi Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi
Liberal. Sistem kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal
sebagai Zaken Kabinet.
Salah satu ciri yang nampak dalam
masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering kali
terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan
diantara partaipartai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak
pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun
1959 terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951;
Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi)
1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957 dan Kabinet Djuanda
(Zaken Kabinet) 1957 1959.
Kalau
kita perhatikan garis besar perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula
Masyumi diberi kesempatan untuk memerintah, kemudian PNI memegang peranan
terutama setelah Pemilihan Umum 1955. Namun PNI pun tidak bias bertahan lama
karena tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yang akhirnya
dibentuk zaken kabinet di bawah pimpinan Ir. Djuanda.
Kabinet-kabinet
tersebut pada umumnya memiliki program yang tujuannya sama, yaitu masalah
keamanan, kemakmuran dan masalah Irian Barat (saat ini Papua Barat). Namun
setiap kabinet memiliki penekanan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi
menekankan pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang
dipimpin oleh PNI sering menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang
menguntungkan perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri.
Apabila
kita teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan nampak halhal yang
menarik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun kabinetnya, Natsir
bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin partai agar
kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan parlemen yang
besar. Namun pada kenyataannya, Natsir kesulitan membentuk kabinet seperti yang
diinginkan, terutama kesulitan dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet.
Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan
PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.
Latar
belakang masalah dalam pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang
menyebabkan goyah dan jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir
menjalankan pemerintahannya, kelompok oposisi segera melancarkan kritik
terhadap jalannya pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir dihadapkan pada mosi
Hadikusumo dari PNI yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah
No 39 tahun 1950 tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah.
Lembaga-lembaga perwakilan daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan
Pemerintah no 39 tahun 1950 oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang
yang baru yang bersifat demokratis karena dalam PP no 39 dalam menentukan
pemilihannya dilakukan secara bertingkat. Berdasarkan pemungutan suara di
parlemen, mosi Hadikusumo mendapat dukungan dari parlemen. Hal ini menyebabkan
menteri dalam negeri mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan
kabinet dengan parlemen tidak lancar yang akhirnya menyebabkan Natsir
menyerahkan mandatnya kepada Soekarno pada 21 Maret 1951.
Jatuhnya
Kabinet Natsir, membuat Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan para
pemimpin partai untuk memilih tim formatur kabinet yang kemudian menghasilkan
Kabinet Sukiman pada tanggal 26 April 1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya
yang tidak melibatkan PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil
melibatkan PNI di dalamnya, sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai
besar, Masyumi dan PNI. Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui
menteri-menterinya yang duduk dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program
politik masing-masing, meskipun kabinet telah memiliki program kerja
tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet.
Sebagai contoh adalah Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang
menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga mengangkat
orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini yang
menimbulkan pertikaian politik dan konflik kepentingan.
Kebijakan
lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen
adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan
SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang)
tanpa persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini
ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan
Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman.
Kondisi
Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari
Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Mutual
Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo dan Merle
Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota Jawaban yang
diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa Indonesia
bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan dalam MSA. Nota Menteri Luar Negeri ini memiliki kekuatan seperti
suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu
langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke
dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas
politik luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI
agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului pengunduran diri
Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian menyerahkan
mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.
Kalau
dibandingkan dengan Kabinet Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas menunjukkan
bahwa partai-partailah yang memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program,
portopolio, komposisi personalia, pelaksanaan dan tanggung jawab serta cara
penyelesaian masalah sepenuhnya terletak ditangan partai. Partai-partai yang
ada pada waktu itu belum nampak menonjolkan ideologi masing-masing,
perhatiannya masih ditujukan pada pemecahan masalah-masalah praktis yang
dihadapi.
Kemudian
Presiden Soekarno memberikan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga
terbentuk kabinet Wilopo pada 30 Maret 1952. Kabinet ini mendapat dukungan yang
lebih luas dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI
dan PSII dalam pemerintahan. Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh
dukungan mayoritas di Parlemen. Kondisi ini mempengaruhi iklim politik dalam
kabinet dan juga hubungan antarpartai. Ikut sertanya PSII dan Parindra dalam
pemerintahan, dan karena PKI, sejak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu menjadi
oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan Partai-partai (PKI,
PSII, Perti, Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani Indonesia, PRN,
Parindra, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Indo Nasional) kehilangan artinya
dan menghentikan kegiatan-kegiatannya. Dengan adanya hubungan politik baru ini,
praktis berakhirlah aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi pada masa
pemerintahan Kabinet Sukiman.
Kabinet
ini memiliki tugas pokok menjalankan persiapan pemilihan umum untuk memilih
anggota parlemen dan anggota konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat
diselesaikan, kabinet ini harus meletakkan jabatannya. Faktor yang
menyebabkannya antara lain peristiwa 17 Oktober 1952.
Pada
saat itu ada desakan dari pihak tertentu agar Presiden Soekarno segera
membubarkan Parlemen yang tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh golongan tertentu dalam tubuh TNI-AD untuk kepentingan
sendiri. Kelompok ini tidak menyetujui Kolonel Nasution sebagai KSAD.
Pihak-pihak tertentu dalam parlemen menyokong dan menuntut agar diadakan
perombakan dalam pimpinan Kementrian Pertahanan dan TNI. Ini
dianggap oleh
pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan militer. Setelah itu
pimpinan TNI menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun Presiden menolak tuntutan
ini, sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya.
Keberlangsungan
Kabinet Wilopo semakin terancam ketika terjadi peristiwa Tanjung Morawa.
Peristiwa ini terkait dengan pembebasan tanah milik Deli Planters
Vereeniging (DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap penduduk, kemudian
diminta untuk dikembalikan kepada DPV. Usaha pembebasan tanah ini mendapat
perlawanan dari penduduk. Karena menghadapi hambatan, pemerintah kemudian
menggunakan alat-alat kekuasaan Negara untuk memindahkan penduduk dari lokasi
tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera Timur, tanah garapan tersebut
kemudian ditraktor oleh polisi yang kemudian mendapatkan perlawanan dari petani
yang mengakibatkan insiden yang menelan korban meninggalnya 5 orang petani.
Peristiwa ini memunculkan mosi di Parlemen yang menuntut kepada pemerintah agar
menghentikan sama sekali usaha pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV
sesuai dengan keputusan Pemerintahan Sukiman dan semua tahanan yang terkait
dengan peristiwa Tanjung Morawa segera dibebaskan. Desakan-desakan ini akhirnya
membuat Kabinet Wilopo jatuh.
Jatuhnya
Wilopo membuat Presiden Soekarno mengalihkan mandatnya ke partai lain, setelah
Masyumi dan PNI mengalamai kegagalan. Presiden menetapkan Wongsonegoro dari
Partai Indonesia Raya (PIR) dan Kabinet terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali
Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini bertujuan melanjutkan tugas
Kabinet Wilopo, menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Parlemen
dan Anggota Dewan Konstituante. Sekalipun kabinet ini berhasil dalam politik
luar negeri, yaitu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada April 1955,
namun harus meletakkan jabatannya sebelum tugas utamanya dapat dilaksanakan.
Faktor utama yang menyebabkan jatuhnya kabinet adalah masalah pimpinan TNIAD
yang berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang
diajukan kabinet ini ditolak oleh korps perwira, kelompok Zulkifli Lubis.
sehingga timbul krisis kabinet. Menghadapi persoalan dalam tubuh TNIAD,
Parlemen mengajukan mosi tidak percaya terhadap menteri pertahanan. Sebagai
dampak dari mosi tersebut, Fraksi Progresif dalam Parlemen menarik Mr. Iwa
Kusumasumantri dari jabatannya sebagai menteri pertahanan pada 12 Juli 1955.
Tidak lama berselang setelah itu kabinet akhirnya menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno pada 24 Juli 1955.
Setelah
Kabinet Ali Sastroamidjojo I dinyatakan demisioner, Hatta selaku pejabat
Presiden, Presiden Soekarno sedang menunaikan ibadah haji, segera mengadakan
pertemuan dengan pimpinan partai untuk menentukan formatur kabinet. Formatur
kabinet mempunyai tugas pokok membentuk cabinet dengan dukungan yang cukup dari
parlemen yang terdiri dari orang-orang yang jujur dan disegani. Tuntutan ini
kemudian berhasil dipenuhi oleh Burhanuddin Harahap selaku formatur yang
ditunjuk oleh Hatta. Pada tanggal 11 Agustus 1955, Kabinet yang dipimpin oleh
Burhanuddin Harahap diumumkan.
Kabinet
Burhanuddin Harahap mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan
umum. Tugas tersebut berhasil dilaksanakan, meskipun harus melalui
rintangan-rintangan yang berat. Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum
untuk memilih anggota parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota
Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955. Setelah menyelesaikan tugasnya
Kabinet Burhanuddin meletakkan jabatannya. Kemudian dibentuk suatu kabinet baru
berdasarkan kekuatan partai politik yang ada dalam parlemen baru hasil
pemilihan umum. Selain masalah pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil
menyelesaikan permasalahan dalam tubuh TNI-AD dengan diangkatnya kembali
Kolonel Nasution sebagai KSAD pada Oktober 1955. Program lainnya yang berusaha
dilaksanakan pada masa kabinet ini adalah masalah politik luar negeri dan
perundingan masalah Irian Barat.
Perkembangan
politik pasca pemilihan umum 1955 memperlihatkan tanda renggangnya dwi tunggal
Soekarno Hatta. Pada tanggal 1 Desember 1955, Hatta mengundurkan diri dari
jabatan sebagai Wakil Presiden. Pengunduran diri Hatta ini merupakan reaksi
politis atas ketidakcocokan Hatta terhadap pernyataan yang dikeluarkan Presiden
Soekarno. Dalam salah satu pidatonya Presiden Soekarno mengatakan bahwa ia akan
sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan
bersama untuk mengubur partai-partai.
Hatta
sebagai seorang demokrat masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan
banyak partai. Perbedaan antara Soekarno dan Hatta tidak hanya muncul pada
tahun 1950an, namun sejak masa pergerakan nasional pun kedua tokoh ini telah
terjadi perbedaan pemikiran. Masa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan
perjuangan revolusi membawa kedua tokoh ini melupakan perbedaan yang ada
sehingga disebut dwi tunggal. Namun, setelah tahun 1950an tampak perbedaan
menyangkut masalah demokrasi telah memecahkan mitos dwi tunggal. Sistem
demokrasi konstitusional sangat didambakan Hatta sedangkan Soekarno menganggap
sistem tersebut tidak cocok untuk bangsa Indonesia.
Soekarno
yakin bahwa gerakan komunisme bisa dikendalikan, sedangkan Hatta sangat
menentang gerakan komunisme dan menganggapnya sebagai bahaya laten yang harus
dilenyapkan. Pergolakan politik dan keadaan keamanan yang semakin memburuk
telah mendorong Soekarno mengeluarkan Konsepsi Presiden pada tanggal 21
Februari 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mengabil alih pemerintahan dan
mendorong dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, suatu konsep demokrasi yang
sangat diidamkan oleh Soekarno namun sangat ditentang oleh Hatta. Sikap Hatta
ini diungkapkannya dalam tulisannya Demokrasi Kita. Hatta menuliskan bahwa
“bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan
pemerintahan yang efisien ada baiknya diberikan kesempatan yang sama dalam
waktu yang layak apakah sistem itu akan menjadi suatu sukses atau kegagalan”.
Penunjukkan
tim formatur untuk membentuk kabinet setelah Pemilihan Umum 1955 agar berbeda
dengan sebelumnya. Setelah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk
partai pemenang pemilu sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang ditunjuk
Soekarno sebagai formatur cabinet mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo
calon formatur kabinet. Presiden Soekarno kemudian memilih Ali Sastroamidjojo.
Kabinet yang terbentuk berintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU. Dalam
pembentukan cabinet tidak ada kesulitan yang prinsipil. Koalisi yang terbentuk
memunculkan pertanyaan mengapa PKI yang menduduki peringkat keempat pemilu
tidak disertakan. Hal ini karena Masyumi menolak masuknya PKI dalam kabinet.
Pada waktu formatur menyerahkan susunan kabinet kepada Presiden Soekarno untuk
disetujui, Presiden tidak langsung menyetujui. Ia kecewa dengan susunan kabinet
yang akan dibentuk yang tidak melibatkan PKI. Presiden menghendaki masuknya PKI
dalam kabinet. Namun kehendak Presiden tidak bisa diterima oleh formatur karena
susunan kabinet yang dibentuk merupakan hasil persetujuan dari partai-partai
yang akan berkoalisi.
Menyikapi
hal tersebut, Presiden Soekarno kemudian berusaha mendesak para tokoh partai
PNI, Masyumi, NU dan PSII agar mau menerima wakil PKI atau pun simpatisannya
untuk duduk dalam kabinet. Namun kehendak Presiden Soekarno tersebut tidak bisa
diterima oleh tokoh-tokoh dari ketiga partai tersebut. Presiden Soekarno pun
akhirnya menyetujui susunan cabinet yang telah disusun oleh tim formatur,
dengan memasukkan Ir. Djuanda dalam kabinet. Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet
koalisi nasionalis-Islam dengan Ali Sastroamijdojo selaku Perdana Menteri.
Kabinet ini dikenal sebagai Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II
merupakan kabinet pertama yang memiliki Rencana Lima Tahun yang antara lain
isinya mencakup masalah Irian Barat, masalah otonomi daerah, masalah perbaikan
nasib buruh, penyehatan keuangan dan pembentukan ekonomi keuangan.
Dalam
menjalankan programnya Kabinet Ali II muncul berbagai peristiwa-peristiwa baru
antara lain gagal memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian
Barat yang
akhirnya membatalkan perjanjian KMB. Munculnya masalah anti Cina diantara
kalangan rakyat yang kurang senang melihat kedudukan istimewa golongan ini
dalam perdagangan. Selain itu mulai meningkatnya sikap kritis daerah terhadap
pusat. Kondisi ini mendorong lemahnya Kabinet Ali yang dibentuk berdasarkan
hasil pemilihan umum pertama. Peristiwa-peristiwa di atas membuat kewibawaan
Kabinet Ali Sastroamidjojo semakin turun. Kurangnya tindakan tegas dari kabinet
terhadap pergolakan yang muncul membuat Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) dan Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menyelamatkan kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid, namun
tidak berhasil. Ali akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno
pada tanggal 14 Maret 1957.
Demisionernya
Kabinet Ali II dan munculnya gerakan-gerakan separatis di daerah-daerah membuat
Presiden Soekarno mengumumkan berlakunya Undang-undang negara dalam keadaan
darurat perang atau State van Oorlogen Beleg (SOB) di seluruh Indonesia.
Keadaan ini membuat angkatan perang mempunyai wewenang khusus untuk mengamankan
negara. Menyikapi situasi jatuh bangunnya kabinet, Soekarno melalui amanat
proklamasi 17 Agustus 1957 menyatakan bahwa:
“Sistem politik
yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia!
Ya, nyata demokrasi yang sampai sekarang ini kita praktikan di Indonesia, bukan
satu sistem politik terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup
bangsa Indonesia! Nyata kita dengan apa yang kita namakan dengan demokrasi itu,
tidak menjadi makin kuat dan makin sentosa, melainkan menjadi makin rusak dan
makin retak, makin bubrah dan makin bejat. (Presiden Soekarno, Amanat
Proklamasi III, 1956-1960, Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno,
1986).
Untuk
mewujudkan keinginan tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno
mengundang ke Istana Negara para tokoh partai dari tingkat daerah hingga pusat,
dan tokoh militer untuk mendengarkan pidatonya yang dikenal dengan Konsepsi
Presiden. Konsepsi tersebut bertujuan untuk mengatasi dan menyelesaikan krisis
kewibawaan kabinet yang sering dihadapi dengan dibentuknya kabinet yang
anggotanya terdiri dari 4 partai pemenang pemilu dan dibentuknya Dewan Nasional
yang anggotanya dari golongan fungsional dalam masyarakat. Sayangnya gagasan
ini dikeluarkan tanpa terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada kabinet yang
tengah mengalami masalah yang cukup berat.
Presiden
Soekarno menyatakan bahwa demokrasi liberal yang dijalankan di Indonesia tidak
sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, dan merupakan demokrasi impor. Ia ingin
menggantinya dengan demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,
yang disebutnya dengan Demokrasi Terpimpin. Konsepsi presiden ini menuai perdebatan
yang cukup sengit baik di parlemen maupun di luar parlemen.
Usaha
Presiden Soekarno untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet
berkaki empat akhirnya gagal. Kaum politisi dan partaipartai tetap mau
melakukan politik “dagang sapi”, yaitu tawar menawar kedudukan untuk membentuk
kabinet koalisi. Akhirnya, Presiden menunjuk dirinya sendiri, “Dr. Ir.
Soekarno, warga negara, sebagai formatur untuk membentuk kabinet
ekstraparlementer yang akan bertindak tegas dan yang akan membantu Dewan Nasional
sesuai konsepsi Presiden. Soekarno berhasil membentuk Kabinet Karya dengan Ir.
Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai Perdana Menteri dengan tiga wakil
perdana menteri masing-masing dari PNI, NU dan Parkindo. Kabinet ini resmi
dilantik pada 9 April 1957 dan dikenal dengan nama Kabinet Karya. Kabinet ini
tidak menyertakan Masyumi di dalamnya.
Kabinet
Djuanda merupakan Zaken Kabinet dengan beban tugas yang harus dijalankan
adalah perjuangan membebaskan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan
keuangan yang memburuk. Kabinet Djuanda untuk menyelesaikan tugasnya menyusun
program kerja yang terdiri dari lima pasal yang dikenal dengan Panca Karya,
sehingga kabinetnya pun dikenal sebagai Kabinet Karya. Kelima program tersebut
meliputi:
1. Membentuk Dewan
2. Normalisasi keadaan Republik
3. Melancarkan pelaksanaan pembatalan
KMB
4. Perjuangan Irian
5. Mempergiat pembangunan
Dewan
Nasional merupakan amanat dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan ini mempunyai
fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada
dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda
pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara.
Dewan ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya
terdiri dari golongan fungsional.
Untuk
menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet Djuanda
pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang
dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, diantaranya adalah mantan
Presiden Mohammad Hatta. Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan
Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini membahas permasalahan-permasalahan
pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian serta
masalah Dwitunggal Soekarno Hatta.
Musyawarah ini
kemudian menghasilkan keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian.
Pada akhir acara Munas dibacakan pernyataan bersama yang
ditandatangani
oleh Soekarno Hatta yang bunyinya antara lain bahwa:
“... adalah
kewajiban mutlak kami untuk turut serta dengan seluruh rakyat Indonesia,
pemerintah RI serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina dan membela
dasar-dasar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga
adanya”. (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Dep.Kominfo, 2005)
Untuk
menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat pembangunan
dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan. Musyawarah ini bertujuan khusus
untuk membahas dan merumuskan usahausaha pembangunan sesuai dengan keinginan
daerah. Oleh karena itu, kegiatan ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh pusat dan
daerah serta semua pemimpin militer dari seluruh teritorium, kecuali Letkol.
Achmad Husein dari Komando Militer Sumatera Tengah.
Perlu
kalian ketahui bahwa pada masa Demokrasi Parlementer ini luas wilayah Indonesia
tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia masih menggunakan
peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme
Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan
pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan
tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas
3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan
pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas
mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan
Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara
yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan
yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik
Indonesia. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda
mendeklarasikan hukum territorial kelautan nusantara yang berbunyi:
Segala perairan
di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik
Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal
asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006
Dari
deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan
merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi
pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya
deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan
wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan
dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Deklarasi
Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut
sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun
harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan
nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil
batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar. Kondisi ini membuat
wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2
menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukan wilayah Irian Barat, karena wilayah itu
belum diakui secara internasional. Hal ini berdampak pula terhadap titik-titik
pulau terluar yang menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang
8.069,8 mil laut. Meskipun Deklarasi Djuanda belum memperoleh pengakuan
internasional, pemerintah RI kemudian
menetapkan deklarasi tersebut menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang perairan
Indonesia.
Dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi
landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian
masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan
diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui
konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang
tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic
State Principle atau Negara kepulauan.
Deklarasi
Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United
Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah
Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah diperjuangkan
selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November 1994, setelah
diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia
internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita,
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia
mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari
tahun 1970an hingga tahun 1990an.
Pada
masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai
hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan Presiden
No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan
nasional.
2.
Sistem Kepartaian
Partai
politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai
politik adalah untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara
konstitusional. Jadi munculnya partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan.
Paska
proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya lembaga parlemen yang
berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Keberadaan
parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya
perangkat organisasi politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal
tersebut, pada 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai
Nasional Indonesia sebagai partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno
tidak dapat diwujudkan. Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika
pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945.
Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan
kembali dan berhasil membentuk partai-partai politik baru.
Sistem
kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multi partai.
Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar memudahkan dalam
mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan
partai politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan
kita dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin
barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut
cenderung untuk memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan
nasional. Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari
kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang
jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering
melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik
yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi
pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya
tidak bias berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya
instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan.
Kondisi
inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun
kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi
liberal menuju demokrasi terpimpin.
3.
Pemilihan Umum 1955
Pelaksanaan
pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh
partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum
ini sebenarnya sudah dirancang sejak cabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli
1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah
pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali
I karena terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan
pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap.
Pelaksanaan
Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208
kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan
dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang dilaksanakan pada
29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante
(badan pembuat Undangundang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada
pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak
suara.
Pemilihan
umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan
penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di
kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih
wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955
merupakan pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.
Presiden
Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955
menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang sehari pun, karena
pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang
tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan
karena terdapat suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan
jadwal semula.
Dalam
proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan
calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan
kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan
perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak
kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78
juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama.
(Feith, 1999)
Pemilihan
umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Hasilnya
diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI,
Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan suara terbanyak memperoleh
kursi sebagai berikut :
PNI
57 : kursi
Masyumi : 57 kursi
Nahdatul
Ulama : 45 kursi
PKI
: 39 kursi
Pemilihan
Umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250
orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara
pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri Kabinet
Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka berakhirlah masa
tugas DPR yang lama dan penunjukkan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah
suara terbanyak di DPR.
Pemilihan
Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota Dewan Konstituate.
Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955.
Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk
menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum
dalam pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekaslekasnya menetapkan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini”.
Berdasarkan hasil pemilihan
tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956, perolehan suara
partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante urutannya
tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, empat besar partainya
adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.
PNI
119 :
kursi
Masyumi
: 112 kursi
Nahdatul
Ulama : 91 kursi
PKI
:
80 kursi
Keanggotaaan
Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat
oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika ada golongan
penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah
kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang
ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan
Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6 kursi.
Dalam
sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956 hingga
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUD S
1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD,
namun terkait dengan masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil
menyelesaikan perbedaan yang mendasar diantara usulan dasar negara yang ada.
Pembahasan
mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena adanya konflik
ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan
dasar negara yang diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar Negara Pancasila
diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki; Kedua, Dasar
negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII; Ketiga, Dasar
negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh. Ketiga
usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan
Islam karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi,
hanya sembilan suara.
Dalam
upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar
negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang
kemungkinan dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu
dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar
yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua upaya untuk
mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua
kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak
berhasil menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini
mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante
mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante harus menerima UUD 1945 apa
adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.
Menyikapi
usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk
pemandangan umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante
pun tidak berhasil mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota
yang hadir. Tiga kali diadakan pemungutan
suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua sidang menetapkan
tidak akan mengadakan pemungutan suara lagi dan disusul dengan masa reses (masa
tidak bersidang). Ketika memasuki masa sidang berikutnya beberapa fraksi tidak
akan menghadiri sidang lagi. Kondisi inilah mendorong suasana politik dan
psikologis masyarakat menjadi sangat genting dan peka. Kondisi ini mendorong
KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan
dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda, melarang
sementara semua kegiatan politik dan menunda semua siding Dewan Konstituante.
Presiden
Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota Dewan
Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4
Juli 1959. Hasil dari pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari
Dekrit Presiden tersebut adalah membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan
berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya UUD Sementara 1950.
Dekrit juga menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia
sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah
menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan
sistem parlementer.
Paska proklamasi
kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya lembaga parlemen yang berfungsi
sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen,
dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat
organisasi politik, yaitu partai politik.
Pelaksanaan
pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dalam parlemen dan dewan Konstituante.
B. DAFTAR PUSTAKA
a.
adji-pras.blogspot.com
b.
kampoengue.blogspot.com
c. bse.kemdikbud.go.id
0 komentar:
Posting Komentar